Perubahan sosial disuatu kota (Town) berkaitan dengan perubahan ekologi yang melingkupinya. Asumsi-asumsi dasar yang dikemukakan bertitik tolak dari pemikiran tentang perubahan sosial sebagai gejala umum yang terjadi pada seluruh bentuk masyarakat di dunia dan prinsip adaptif materialisme sebagaimana dikemukakan Sanderson. Perubahan sosial dapat diartikan sebagai perubahan struktur dan fungsi masyarakat, yang disebabkan oleh terjadinya perubahan tatanan struktur masyarakat dan dapat dianalisis melalui kondisi infrastruktur sosial, struktur sosial, maupun kondisi suprastruktur yang melingkupinya. Adapun kondisi infrastruktur meliputi kondisi-kondisi ekologi, hingga tatanan produksi yang berkembang, yang merupakan sandaran perekonomian dalam situasi interaksi antar komponen sosial. Sementara kondisi struktur dapat dilihat melalui pola pembagian kerja, kekerabatan, pelapisan sosial hingga ketidaksamaan sosial
Dengan kata lain tulisan ini bermaksud memberikan uraian deskriptif tentang hubungan faktor ekologi, struktur sosial, budaya dan ekonomi yang membentuk realita kehidupan masyarakat Disebabkan perubahan semisal ekologi; merupakan perubahan yang memakan waktu lama, maka penelitian ini juga melihat situasi sosial tersebut dalam periode waktu yang panjang dengan penekanan pada perubahan-perubahan yang terjadi, dan bukan pada kejadian atau peristiwa-peristiwa tertentu. Sejarah disajikan bukan dalam artian me-rekonstruksi atau menciptakan kembali masa lalu, melainkan dalam upaya untuk melihat kondisi sosiologis yang menyertai perubahan-perubahan dalam sejarah tersebut. Analisa lebih merupakan analisa teoritis yang dilakukan melalui paradigma tertentu yang dijadikan dasar pemikiran studi ini.
Terdapat beberapa aspek yang menjadi acuan telaah dinamika sosial seperti diuraikan berikut ini: Pada tatanan struktural, maka perubahan biasanya diawali oleh terjadinya perubahan yang mendasar pada tatanan infrastrukturnya, yang berdampak pada perilaku individu pelaku struktur sosial, perubahan-perubahan dalam upaya membentuk suatu ekuilibirium baru dengan landasan infrastruktur yang baru pula. Dalam tradisi Marxis, maka perubahan akan dikaitkan dengan kepemilikan alat produksi, dimana masyarakat akan senantiasa berada dalam konflik perebutan sumber daya yang berakhir pada terbentuknya polarisasi sosial berdasarkan kepemilikan sumber daya tersebut . Namun pendekatan ini telah kehilangan relevansinya ketika berupaya melihat perubahan masyarakat kota yang senantiasa berada dalam kondisi tidak stabil , cenderung berubah terus menerus, dan memiliki tingkat kemajemukan yang tinggi .
Alternatif pendekatan adalah dengan tidak lagi melihat produksi, melainkan reproduksi yang terefleksi pada tingkat pendapatan, daya beli dan gaya hidup. Struktur pelapisan masyarakat diasumsikan akan merupakan unsur yang membentuk kota melalui pengalaman hidup sehari-hari, yang masing-masing terikat dalam konteks pasar dan pemerintahan. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa analisis masyarakat kota dilakukan dengan melihat bahwa kota bukanlah sebagai suatu situasi masyarakat yang homogen, terintegrasi, melainkan adalah kumpulan kelompok-kelompok yang terpisah dalam rangkaian jaringan kegiatan ekonomi dan pemerintahan.
Sebagaimana lazimnya kota-kota bentukan kolonial, maka kharakter kota akan merupakan hasil perpaduan struktur birokrasi dan pasar, terutama kota-kota di pesisir dengan jaringan perdagangan, seperti di Utara Pulau Jawa dan Bagian Timur Pulau Sumatera. Pertemuan antara kebudayaan kolonial(Eropa) dengan Islam, Hindu-Budha dan Cina menjadi tidak terelakkan dalam sejarah terbentuknya kota dan menjadi ciri tersendiri.
Era penaklukan kolonial atas daerah diluar Pulau Jawa, khususnya Sumatera, secara dimulai sejak perjanjian Sumatera (1871) memberikan Pemerintah Hindia Belanda kebebasan bertindak atas Sumatera, dan Britania atas Semenanjung Melaya . Berkaitan dengan hal tersebut, signifikansi penelitian ini adalah dalam upaya untuk memberikan penjelasan umum atas kondisi sosiologis kota, terutama kota di Pantai Timur Sumatera yang tidak terlepas dari pengaruh penaklukan Kolonial Belanda yang menampilkan format daerah perkebunan seiring dihapusnya kulturstelsel dan dimulainya swastanisasi perkebunan pada tahun 1870-an. Dimulai dari wilayah Deli, dimana Pantai Timur memiliki sekitar 70-an kampung orang Melayu yang jumlah ini tidak dapat menopang usaha perkebunan tersebut, maka dimulailah rekrutmen tenaga perkebunan yang berasal dari Pulau Jawa dan Malaya (Orang Tionghoa ). Pengusahaan perkebunan yang dimulai dari wilayah pantai hingga pedalaman yang menciptakan tatanan masyarakat perpaduan kapitalis dan feodalistis dengan orang Jawa dan Tionghoa sebagai kuli perkebunannya. Arah sebelah selatan Oostkust Medan yang terkenal disebabkan pengaruh ekonomi Kolonial dan modal Eropa, sebenarnya juga telah berkembang secara sejajar Oostkust kedua (masih diPantai Timur Sumatera) yang menghadap ke Singapura dan dikembangkan terutama oleh orang Tionghoa , selain itu, sejumlah besar lahan hutan (panglong) digarap oleh orang Tionghoa yang membabat hutan sambil menghulu ke sungai; Siak, Kampar, Indragiri dan Batang Hari. Oostkust tersebut adalah Bagansiapiapi yang berbeda dengan kota-kota di sepanjang Pantai Timur Sumatera, kota pantai yang ditopang oleh struktur perekonomian industri perikanan, industri pembuatan kapal kayu dan juga penggarapan lahan hutan, perekonomian perkebunan karet rakyat hingga era pasca revolusi kemerdekaan, dan terakhir menjadi pusat pemerintahan pasca pemekaran Kabupaten Bengkalis sebagai Kabupaten Induk menjadi Kabupaten Rokan Hilir Tahun 1999.
Bagansiapiapi sebagai kota dalam pengertian Town (berpenduduk kurang lebih 30 ribu jiwa), memiliki sejarah pertumbuhan yang berkaitan dengan sumber daya alam, yaitu hasil produksi perikanan laut dari era kolonial hingga tahun 60-an. Hasil produksi yang mencapai 300 ribu ton per tahun telah menempatkan Bagansiapiapi sebagai penghasil ikan terbesar di dunia. Proses ekologis telah menjadikan penurunan produksi perikanan hingga Bagansiapiapi tidak lagi menjadikan perikanan laut sebagai sektor andalannya, hingga produksi yang hanya mencapai sekitar 70 ribu ton per tahunnya. Kondisi tersebut memiliki konsekuensi perubahan pola mata pencaharian penduduk dari produksi perikanan tangkapan menuju pola pencarian lainnya. Merosotnya hasil tangkapan ikan tersebut juga telah berdampak pada menurunnya produksi yang berkaitan dengan ikan, yaitu Ikan asin dan belacan (Terasi), hingga industri ekspor udang ke Negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Pendangkalan dan pembukaan transportasi darat rute Bagansiapiapi-Ujung Tanjung ini juga telah menyebabkan mundurnya kota sebagai kota pelabuhan. Adapun dampak demografis diasumsikan telah terjadi perubahan komposisi penduduk berdasarkan etnis, dimana etnis Tionghoa mengalami penurunan jumlah penduduk yang signifikan, yaitu pada Tahun 1926 Orang Tionghoa di Bagansiapiapi sejumlah 11.500 jiwa, Tahun 1930 orang Tionghoa di Bagansiapiapi berjumlah 12.800 orang, kemudian naik pada tahun 1946 menjadi 24.000 jiwa, dan pada tahun 2005 data BPS Kab Rokan Hilir menunjukkan jumlah 8000 jiwa. Kondisi tersebut bersifat kontradiktif dengan orang Melayu yang pada Tahun 1946 berjumlah 6000 jiwa, dan pada Tahun 2005 ini berjumlah 22.000 jiwa. Beberapa sumber menyebutkan bahwa pasca eksodus besar-besaran tersebut, penduduk Bagansiapiapi saat ini berjumlah sekitar 10% dari masa pra-eksodus tersebut.
Jika dikaitkan dengan hasil studi Evers, maka orang Tionghoa diasumsikan telah melakukan migrasi menuju kota-kota besar seperti Jakarta, Medan ataupun Surabaya, sebahagian lagi menuju kota-kota pesisir di Pulau Jawa, dan tidak menutup kemungkinan sebahagian besar melakukan migrasi ke luar negeri. Kondisi ini berkaitan dengan orientasi orang Tionghoa pada Kota-Kota besar, yang berbeda dengan orang Melayu yang beroerientasi pada Kampung-kampung sekitar kediamannya. Faktor lain yang dapat dipertimbangkan adalah migrasi keluar orang Tionghoa berkaitan dengan menurunnya hasil produksi tangkapan ikan, dan pelarangan penggunaan alat tangkap ikan serupa pukat harimau yang menyebabkan menurunnya pendapatan, dan terbatasnya penghasilan di Bagansiapiapi. Mungkin kondisi tersebut dapat menjelaskan mengapa terjadi eksodus besar-besaran warga Tionghoa pada era tahun 1970 hingga 1980-an menuju sentra ikan di Pulau Jawa, seperti Cirebon dan Cilacap. Eksodusnya warga Tionghoa tersebut merupakan eksodusnya nelayan yang membawa serta teknologinya dalam hasil olah hasil perikanan, seperti pengolahan terasi dan ikan asin. Selain itu, ternyata migrasi warga Tionghoa Nelayan tersebut nampaknya telah berdampak pada timbulnya persoalan berkaitan dengan persaingan penangkapan ikan, seperti terjadi di Cilacap; dimana massa nelayan lokal yang marah terhadap kapal pukat harimau nelayan Bagan telah melakukan aksi yang menyebabkan dibakarnya sebahagian kapal-kapal nelayan Bagan tersebut.
Dinamika sosial yang berkembang di Bagansiapiapi pasca konflik tahun 1946 telah menyebabkan beralihnya sebahagian lahan perkebunan karet milik orang Tionghoa pada era kolonial yang banyak tersebar di sekitar Bagansiapiapi menjadi tempat pemukiman orang-orang Melayu . Meskipun demikian, tampaknya perkebunan karet di sekitar Bagansiapiapi tetap bertahan, setidaknya hingga tahun 1950-an; dan tetap dapat sebagai salah satu pengekspor Karet terbesar diseluruh Riau, hingga akhirnya benar-benar collaps diakhir tahun 80-an.
Bagaimanapun juga, kompleksitas orang Tionghoa pada era kolonial yang dikenal sebagai EEN CHINA OOST INDIE telah berkurang, dengan peralihan kerja sebagai buruh dan kuli, petani dan pekebun terhadap orang pribumi. Kondisi tersebut telah menimbulkan berkurangnya ketidaktergantungan orang Tionghoa terhadap pribumi, seperti yang diuraikan oleh BA.Mukhtar menunjukkan kemandirian orang Tionghoa di Bagansiapiapi pada era 40-an;
“Sekalian pokok-pokok perekonomian terpegang dalam tangannya, mereka itu mempunyai masyarakat yang lengkap coraknya, jermal-jermal serta nelayannya ada, taninya ada, kulinya ada, tongkang-tongkang yang ribuan jumlahnya serta motorbootnya ada, tukang-tukangnya ada, orang-orang cerdik pandai ada dan cukup. Jadi masyarakat ( Tionghoa ) di Bagansiapiapi sedikit sekali menghendaki tenaga atau pertalian dari dan dengan masyarakat (penduduk) Indonesia, Cuma didalam urusan hasil bumi ke hulu, itupun kebun-kebun karet yang luas kepunyaan mereka.”
Kondisi tersebut sama dengan apa yang telah lebih dahulu dikemukakan oleh B.J.Haga seorang Controleur Belanda di Bagansiapiapi tahun 1915-1919 sebagaimana diuraikan oleh Lombard bahwa para nelayan Tionghoa hidup sangat mandiri – bergabung dalam perhimpunan atau bangliau dibawah kekuasaan seorang tauke dan bekerja dengan teknik-teknik mereka sendiri.
Kondisi hingga pasca pemekaran Kabupaten menampilkan kharakter heterogen, meski Budaya Tionghoa dominan membentuk kharakter kota disebabkan segregasi pemukiman berdasarkan etnis, dengan etnis Tionghoa sebagai penduduk yang mendiami pusat kota (Down Town) Bangunan rumah toko permanen yang marak didirikan setelah peristiwa kerusuhan Bulan September 1998, yang berakibat pada dibakarnya ratusan rumah warga Tionghoa oleh kelompok penduduk pribumi. Bangunan Rumah Toko tersebut juga dimanfaatkan sebagai sarana penangkaran Burung Walet, usaha individualistis yang hampir memenuhi seluruh pusat Kota. Meskipun demikian, kondisi tersebut bagi sebagian warga seperti menjadi dilema antara usaha memacu kegairahan berinvestasi guna mendorong perekonomian kota dengan dampak yang ditimbulkan dari usaha tersebut. Bagansiapiapi yang tidak lagi kental diwarnai oleh perekonomian perikanan laut, dan terutama sekali oleh sektor perkebunan karet, digantikan oleh usaha penangkaran Walet, yang sebagaimana telah dikemukakan tadi memicu dilema. Usaha ini dominan orang Tionghoa , dan nampaknya orang-orang Tionghoa non-pengusaha wallet tidak keberatan dengan adanya pengusahaan tersebut.
Orang Melayu dominan mendiami wilayah Hulu (diselatan kota) dalam suatu perkampungan yang padat, dengan kondisi yang menyerupai perkampungan yang biasa berada di kota-kota besar. Para Tukang Becak penumpang, becak barang, ojek, hingga gerobak didominasi oleh orang Melayu yang mendiami kawasan ini. Selain itu, orang Melayu juga ada yang terlibat dalam kegiatan perdagangan di pasar, sebagai pedagang kerang, ikan, ayam, sayur-sayuran, dengan posisi informal. Mayoritas orang Melayu sebagai birokrat kediamannya tersebar di seluruh Bagansiapiapi, hanya saja jarang terlihat berada diantara pemukiman orang Tionghoa (satu-satu ada), meskipun peluang untuk mengontrak rumah di lingkungan orang Tionghoa tidak jauh berbeda dengan di lingkungan pribumi.
Khusus para tukang becak, buruh sepertinya berada pada posisi yang sulit, terutama pasca pembukaan jalan darat dan pemekaran wilayah yang berdampak pada peningkatan perekonomian kelompok birokrasi. Pemekaran Kabupaten Rokan Hilir dengan Bagansiapiapi sebagai ibukota sementara telah menimbulkan perubahan taraf ekonomi, khususnya di lapisan birokrasi. Meningkatnya kuantitas kendaraan bermotor telah menyempitkan peluang tukang becak dan buruh angkut, yang pada mulanya beroperasi di sekitar pelabuhan. Dengan dibukanya jalur transportasi darat, Pengangkutan barang sebenarnya dapat langsung menuju alamat tujuan, namun yang terjadi mereka para angkutan akan menurunkan barang dibatas kota dan selanjutnya para tukang becak dan buruh angkut melanjutkan hingga ke alamat yang menjadi tujuan. Pola ini menyebabkan biaya tinggi bagi pemilik barang yang biasanya adalah barang dagangan milik Orang Tionghoa . Yang terjadi adalah ongkos produksi yang tinggi ditanggung oleh konsumen dengan selisih harga yang terjadi akibat pengangkutan tambahan. Akhirnya, kembali para tukang becak dan buruh yang paling terkena dampak lingkaran ekonomi biaya tinggi tersebut. Selain itu, diasumsikan bahwa terjadi kesenjangan penghasilan yang cukup tinggi antara lapisan birokrasi dengan tukang becak dan buruh angkut . Lebih jauh ke arah Selatan, maka di perbatasan Kota akan banyak terlihat kelompok pekerja lepas yang benar-benar lepas dari kerja pertanian dalam arti yang sebenarnya, yang berposisi sebagai pekerja buruh angkut material dan arus barang yang memasuki kota.
Kelompok orang Jawa dominan pada arah hilir atau utara Kota, dengan pola perkampungan yang tidak terlalu padat. Pola mata pencaharian adalah berkebun, buruh dan berdagang kecil-kecilan di pasar, dan terdapat sebahagian menjadi pegawai negeri. Kelompok ini ditemui di bagansiapiapi bermula pada tahun 1920-an seiring dengan didirikannya controleur Belanda pada tahun 1901. Pola pedesaan pada wilayah utara adalah mengikuti jalur darat menuju Sinaboi dimana sumber mata pencaharian penduduk adalah berkebun dan nelayan, dan sebagian menjadi buruh bangunan. Pekerjaan yang terakhir dilakukan oleh kelompok angkatan kerja yang berusia relative lebih muda. Pemandangan pada pagi dan sore hari di Jalan Bintang (jalan menuju Sinaboi yang terletak diujung utara dan berbatasan langsung dengan Selat Malaka) menunjukkan secara jelas arus pekerja yang tinggal di utara Bagansiapiapi menuju dan pulang dari pusat kota dalam kegiatan pembangunan rumah-toko permanen milik warga Tionghoa yang marak 5 tahun belakangan ini.
Pemekaran Kabupaten Rokan Hilir dengan Bagansiapiapi sebagai ibukotanya sejak 1999 diasumsikan telah menimbulkan urbanisasi secara Heterogenis yang berdampak pada berdatangannya para migran untuk bergerak pada sektor pemerintahan maupun perdagangan dan jasa, baik migran yang tergolong sebagai orang-orang yang dulunya mendiami Bagansiapiapi maupun yang tergolong orang-orang pendatang baru. Gejala ini salah satunya terlihat dengan komposisi orang-orang yang bekerja di pemerintahan yang menunjukkan gejala heterogen. Akses transportasi darat yang terbuka sejak tahun 1990-an juga diduga ikut mempengaruhi gerak penduduk. Jika dibandingkan dengan era Pra-Transportasi darat, yaitu ketika warga Bagansiapiapi masih menggunakan jalur laut dan sungai, akses untuk bepergian keluar tidak semudah saat ini, yaitu dapat mencapai ke Pekanbaru sebagai ibukota Propinsi dengan jalur darat hanya berkisar 5-6 jam. Kondisi tersebut jika dibandingkan dengan sebelum terbukanya akses jalur darat adalah dapat mencapai 2 hari perjalanan.
Asumsi yang diketengahkan, bahwa dinamika perubahan ekologi, pola mata pencaharian, dan politik diasumsikan telah menimbulkan perubahan struktur sosial-ekonomi, masyarakat dan selanjutnya menimbulkan suatu perubahan sosial yang berlaku secara umum di Bagansiapiapi. Pada era kontemporer, perubahan ini ditandai dengan munculnya lapisan elit baru yang berbasis pada birokrasi, munculnya tokoh politik dan pemuda yang berdampingan dengan elit tradisional/ alim ulama terutama pasca pemekaran Kabupaten, dari Kabupaten Bengkalis sebagai Kabupaten Induk menuju Kabupaten Rokan Hilir. Pemekaran wilayah baru telah menimbulkan banyaknya peluang berusaha, baik dalam sektor birokrasi maupun sektor formal lainnya. Selain itu, perubahan yang dimunculkan sebagai akibat gejala alam menyebabkan meluasnya lapisan bawah sebagai akibat menyempitnya peluang usaha tradisional, terutama yang berkaitan dengan usaha penangkapan ikan. Lapisan ini tersebar pada pekerja buruh ataupun penarik becak, ataupun yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Dominannya kelompok etnis Tionghoa dalam perdagangan tidak diartikan sebagai lapisan sosial yang berdiri sendiri, disebabkan kelompok etnis ini memiliki sifat yang heterogen, terutama dalam stratifikasi berdasarkan ekonomi.
Argumentasi logis yang dapat diajukan berkaitan pemilihan Bagansiapiapi sebagai fokus kajian adalah sebagai berikut: 1)Bagansiapiapi memiliki sejarah sebagai penghasil ikan terbesar di Hindia Belanda dan juga di dunia; 2)Bagansiapiapi memiliki pola pemukiman dan pekerjaan berdasarkan etnis; 3)Perkembangan Kota Bagansiapiapi memiliki sejarah perubahan ekologis dengan terjadinya pendangkalan muara sungai yang bardampak pada peralihan sektor pekerjaan utama kota; 4)Terdapatnya pasang surut sentra Pemerintahan mulai era kolonial hingga pemekaran Kabupaten; terakhir 5)Kota berada pada situasi krisis identitas sebagai ibukota pemerintahan, berhasil atau tidak dipertahankannya Bagansiapiapi akan memiliki dampak pada perkembangan kota itu sendiri kedepan dan ini jelas-jelas akan berpengaruh terhadap perilaku warganya. Situasi ini diasumsikan menimbulkan suatu kondisi psikologis; ketidakpastian akan perubahan kedepan, khususnya di lapisan birokrasi. Argumentasi ini menjadikan studi ini lebih bersifat induktif ketimbang deduktif dalam upaya mencari penjelasan logis atas maksud penelitian.
Mengacu pada model masyarakat yang dikaji, maka penelitian ini mengkombinasikan konsepsi pemikiran adaptif materialisme dari Sanderson, uraian pemikiran tentang Perubahan sosial sebagaimana yang dikemukakan oleh Stomka, kemudian tipologi perkotaan perspektif aliran Chicago, dan menggunakan analisa Thick description sebagaimana dianjurkan Geertz guna memahami kondisi real di lapangan.
Uraian dan konsepsi pemikiran menunjukkan bahwa penelitian ini dilakukan dengan mempertimbangkan asumsi sebagai berikut; 1)Proses perubahan sosial merupakan bagian dari perkembangan ataupun sejarah kota, begitu pula sebaliknya; 2)Proses perkembangan kota berkaitan dengan proses perubahan ekologis kota; 3)Perubahan ekologis kota meliputi perubahan interaksi antara manusia dengan infrastruktur sosialnya.
Oleh: Tressi Adi Hendra Parya
Direvisi : Ad2 - KVH
1 komentar:
rentang waktu kajian perubahan sosial di kota bagansiapiapi, dimulai dari periode kolonial hingga akhir tahun 2005..
Posting Komentar