Home

Sabtu, 09 April 2011

ORANG TIONGHOA DI INDONESIA


ORANG TIONGHOA DI INDONESIA

The Chinese Roots, Provinsialisme, Peranakan, Totok
dan Kerjasama Dalam Tubuh Hua Yi

Oleh : Dr. Han Hwie Song






Menurut legenda , orang Tionghoa adalah keturunan dari dua raja bersaudara yaitu Huang-di (Yellow Emperor) dan Yan-Di. Dua saudara kerajaan yang hidup lebih dari 5000 tahun yang lalu.

Huang-di raja yang sangat bijaksana dan Yan-Di yang terkenal dengan kepandaiannya tentang agraria. Kedua raja bersaudara itu memberikan basis dari teori Traditional Chinese Medicine (TCM). Buku-buku terkenal dari Huang Di dan Shen Nong masing-masing ialah “Huang Di Nei Jing”, atau teori kedokteran klasik yang pertama dan “Shen Nong Ben Cao Jing” , buku materia medica yang pertama di dunia. Mereka yang belajar TCM harus mempelajari kedua buku tersebut diatas. Orang Tionghoa dalam dan luar negeri sangat hormat pada kedua raja ini yang dianggap sebagai leluhur dari orang Tionghoa.



Orang-orang Tionghoa datang bermigrasi ke Nan-Yang ( Asia Tenggara termasuk Indonesia ) sejak tahun 1400 dan paling banyak terutama pada abad ke 19 sampai permulaan abad 20. Pendatang-pendatang ini pertama-tama tinggal di pelabuhan-pelabuhan Indonesia khususnya dengan tujuan perdagangan. Pendatang ini profesi dan kulturnya bervariasi, ada pedagang, ada ahli agraria, arsitek, ahli mebel, seniman dan lain sebagainya. Tetapi ada banyak yang bermigrasi dengan tujuan agar bisa hidup lebih baik dari pada hidup sengsara di daerah kelahirannya. Banyak dari pendatang baru ini bertujuan untuk menetap di bumi Indonesia kecuali mereka yang bertujuan untuk perdagangan.



Waktu Belanda datang ke Nusantara, mereka menjumpai orang-orang Tionghoa ini. Dan karena kegiatan kerja serta kemampuan orang-orang Tionghoa, Belanda memerlukan bekerja sama dengan mereka. Kerja sama ini dimulai dengan Jan Pieterzoon Coen, Gubernur Jenderal pada waktu itu dengan seorang pedagang Tionghoa Souw Beng Kong. Yang terakhir ini diangkat oleh Jan Pieterzoon Coen sebagai Kapten Tionghoa yang pertama. Mereka sering bertemu di kastil minum teh dan membicarakan bagaimana memajukan ekonomi di “Hindia Belanda”, nama untuk Indonesia waktu itu. Tetapi kerja sama antara penguasa Belanda dan masyarakat Tionghoa, bukannya langgeng, tetapi ada naik turunnya dengan akibat-akibat yang serius, seperti terjadinya “Pembunuhan Orang Tionghoa” pada tahun 1740.

Diskriminasi tehadap orang Tionghoa dibuktikan dalam sejarah bahwa orang Tionghoa tidak diijinkan menjadi pegawai negeri, tidak bisa membeli tanah dan harus tinggal di daerah yang dinamakan Chinese wijk atau Pecinan. Orang Tionghoa kalau mau keluar kota harus minta ijin, ditulis dengan jelas tempat yang ditujuh. Ini menyulitkan perdagangan bagi orang Tionghoa yang mempunyai perusahan di luar kota. Mereka tidak bisa bebas dalam gerakannya untuk mempromosikan barang dagangannya. Mereka harus kembali sore hari pada jam yang sudah ditentukan dan kalau lewat dari jam yang sudah ditentukan, atau pergi ketempat diluar dari surat ijinnya mereka bisa ditahan. Belanda tidak mengurus pendidikan dan kesehatan orang Tionghoa, tetapi Belanda membuka sekolah-sekolah untuk orang Pribumi.



Orang Tionghoa pendatang baru ini kebanyakan berasal dari Tiongkok bagian Selatan, provinsi Fujian (Hokkian), provinsi Guangdong, ada juga imigran-imigran dari provinsi Hubei, Zhijiang dan seterusnya, tetapi dalam jumlah yang jauh lebih sedikit. Provinsi-provinsi ini luasnya besar dan dapat dibandingkan dengan luas dari negara-negara Perancis, Jerman, Spanyol, Italia, Inggris dan lain-lain. Pendatang dari Fujian berasal dari banyak kota atau desa seperti Fu-Zhou, Xia-men dan dari desa umpamanya Fu-Ching. Dari provinsi Guangdong dari kota Guang-Zhou, Mei-Xian ( orang Hakka atau Khek ), pulau Hainan dan seterusnya.



Kota-kota dalam satu provinsi, bahkan juga desa mempunyai dialek-dialek sendiri. Orang-orang Tionghoa umumnya di Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapore dan Indonesia, terbanyak ialah orang Hokkian dan orang Hakka, yang pertama lebih banyak daripada yang kedua. Karena besarnya satu provinsi maka mereka mempunyai kultur yang berlainan dan norma-norma dan kebiasaan hidup yang tidak sama, bahkan juga pandangan politiknya berlainan. Mengapa mereka mempunyai pandangan politik yang berlainan? Orang Hakka umpamanya lama sesudah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok masih tetap berorientasi ke Kuo Ming Tang. Ini menurut saya ialah disebabkan karena orang Tionghoa itu mempunyai perasaan yang terikat dengan asal provinsinya. Dr. Sun Yat Sen berasal rootnya dari provinsi Guangdong , maka orang-orang Hakka umumnya anti Republik Rakyat Tiongkok dan pro Kuo Min Tang.



Tetapi kemudian generasi mudanya berobah pikirannya dan kebanyakan sekarang pro RRT. Pandangan politik ini saya alami dari teman-teman saya dengan orang Hakka, termasuk teman baik saya dari Fakultas Kedokteran Airlangga. Tidak jarang dulu di Surabaya terjadi perdebatan hampir dengan kekerasan antara yang pro dan anti RRT, kejadian ini sering terlihat di Stadstuin di Pasar Besar Surabaya ( Stadstuin adalah istilah bahasa Belanda yang berarti tamankota ).

Pendatang baru ini umumnya merupakan masyarakat yang berhubungan erat, terutama berlaku bagi mereka dalam satu provinsi, apalagi kalau pendatang dari satu kampung, mereka merupakan satu famili. Mereka saling membantu, pendatang yang lama membantu pendatang baru. Dia adalah satu anggota dari keluarga besar. Mereka mendapatkan pekerjaan dalam “keluarga” tersebut, sambil melihat-lihat kanan dan kiri untuk penghidupan hari depannya. Dengan adanya bimbingan dari keluarga besar, mereka mengenal keadaan dan lingkungan di sekitarnya. Karena adanya keluarga ini mereka tidak sampai kesasar dalam perjalanan hidupnya di dunia yang bagi mereka masih asing itu. Ini adalah pengalaman bagi opa saya dan opa dari fihak ibu dan ayah dari istri saya, pengalaman hidup mereka sewaktu baru datang di Indonesia dulu yang mereka ceritakan pada saya. Famili saya yang masih tergolong Totok ialah keluarga Han Kok Tjay, dulu tinggal di Kalimantan, karenanya masih mempertahankan identitas Fu Ching. Kok Tjay sekarang tinggal di Surabaya dan juga anak-anak beliau sudah berobah identitasnya seperti peranakan.



Perbedaan norma-norma hidup, kebudayaan dan provinsialisme mencerminkan dalam masyarakat Tionghoa di Indonesia, bahwa mereka dalam bidang perdagangan berlainan dengan provinsi yang berlainan, seperti yang sudah saya ceritakan terdahulu. Orang Hokkian asal Xiamen umumnya berdagang polowijo ( hasil bumi ), orang Fu-Ching (Hokjia) berdagang tekstil, orang Fu Zhou (Hok Jiu) berdagang emas, orang Hing Hua berdagang sepeda. Orang dari provinsi Guangdong, yaitu orang Hakka berdagang obat-obatan Tionghoa, provicien en dranken ( makanan dan minuman yang dikemas dalam kaleng dan botol ) dan pabrik sabun. Orang Guangzhou (Kong-Fu) ahli membuat mebel dan ahli masak, restauran. Orang Hainan juga membuka restaurant, yang terkenal ialah nasi tim Ayam Hainan . Orang dari provinsi Hu Bei biasanya membuka usaha sebagai Tukang Gigi. Orang Shanghai membuka toko buku atau pengusaha Binatu ( Wasserij / Laundry ) dan salon.

Karena provinsialisme ini dan pikiran yang konservatif dari golongan-golongan masing masing, maka mereka mengatakan perbedaannya dengan stereotip-stereotip, kata-kata yang negatif dari masing-masing golongan. Kontradiksi itu begitu beratnya sampai anak-anak mereka dilarang melakukan perkawinan campuran antara berbagai provinsi. Skenario ini saya lihat pada teman-teman saya. Secara halusnya saya katakan orang tua mereka masing-masing bisa berkata : ”mereka melihat sesuatu, menurut pandangannya, persepsinya, diwarnai dengan kebiasaan mereka yang berlainan dengan kita. Kau tidak akan bisa cocok menikah dengan dia, karena kebiasaan dan kultur yang berlainan.”




Yang jadi pertanyaan bagi saya ialah mengapa yang dipakai resmi oleh pemerintah Belanda tempo doeloe adalah ejaan dan konotasi bahasa dialek Fujian, Min-Nan, yaitu bahasa yang dipakai daerah selatan dari sungai Min di Fujian. Bahasa ini adalah bahasa Xiamen, Amoy. Bahasa ini dipakai untuk nama-nama Marga Tionghoa seperti: Yap, Tan , Go, The, Liem, Oei, Tjoa dan lain-lain,. juga nama Kong Koan, institusi pengurusan orang Tionghoa pada jaman Hindia Belanda Tempo Doeloe. Ini mungkin yang datang pertama di Indonesia adalah orang dari Minnan, dan jumlah orang Minnan di Hindia Belanda paling banyak, maka dipakai kebanyakan orang Tionghoa oleh Belanda untuk mengatur orang Tionghoa yang baru datang (institusi yang dinamakan Kong Kuan). Ini terbukti juga kebanyakan Mayor, Kapten, Letnan dan Lotia adalah orang asal Minnan. Maka baik orang Hakka, Kanton, Fu Zhou, Fu Ching memakai nama dengan konotasi Minnan. Ini adalah konklusi saya mengingat jumlah banyaknya penduduk Tionghoa, dan para pemimpin Tionghoa pada Tempo Doeloe adalah orang Hokkian. Dari golongan Hakka hanya ada beberapa saja yang diangkat sebagai pengurus orang Tionghoa dengan gelar militer, tetapi bukan militer dalam arti sesungguhnya.



Pertanyaan yang kedua ialah mengapa adanya perbedaan-perbedaan yang telah saya sebutkan diatas antar golongan Tionghoa ? Saya rasa perbedaan kebiasaan ini disebabkan dari beberapa faktor, pertama-tama ialah geografi, besarnya negara Tiongkok dan provinsinya, keadaan cuacanya, kemakmuran tanahnya dan sejarahnya. Jadi kebiasaan hidup menurut saya terutama ditentukan dengan kultur materi dari golongan-golongan itu, dan bagaimana masyarakat disatu daerah bisa memberikan kepuasan dalam jalan penghidupannya. Orang Hakka akarnya ( roots ) sebetulnya datang dari utara dan berpencaran diseluruh Tiongkok, karenanya mereka lebih berani bermigrasi, sifat-sifat yang juga dipunyai oleh orang-orang Amerika. Kebiasaan satu golongan disebabkan karena memori diluar kesadarannya dari pengalaman banyak orang-orang (leluhurnya) yang menahun, suatu keadaan yang dinamakan kondisional. Karena itu identitas ras dan suku, harus kita selidiki sebab-sebab dari perbedaan-perbedaan etnis itu untuk menemukan prinsip-prinsip yang menentukan kehidupan dan reaksi kita menghadapi sesuatu sehari-hari, yang kemudian jadi kebasaan dari satu etnis tertentu.”

Sesudah kita kenal persoalannya, kita bisa menggunakannya untuk menyelesaikan perbedaan yang ada dengan baik. Menurut saya faktor-faktor esensialnya ialah, saling respek, toleransi, merendahkan diri, dan menerima adanya perbedaan ini. Keempat faktor ini adalah basis dari semua kebijakkan manusia. Tetapi disamping adanya kelainan dari norma-norma penghidupan mereka mempunyai persamaan ialah sama-sama berani bekerja keras dan menghemat. Mereka lebih baik makan yang enak bersama keluarga untuk kesehatan turunannya dan keharmonisan keluarga dari pada beli perabotan rumah tangga.



Karena itu rumah-rumah orang Tionghoa yang kayapun pada jaman Tempo Doeloe, terutama dari golongan yang disebut Totok, mebelnya simpel-simpel saja dan seperlunya. Maka tidak mengherankan rumah-rumah kepunyaan orang Tionghoa besar-besar, meskipun mereka kaya tetapi rumahnya kelihatan kosong. Rumah-rumah demikian ini dapat dilihat dimana-mana, dan jelas tampak di Lasem, Gersik dan lain-lain. Keadaan ini bisa saya lihat di keluarga kami, salah satu keluarga istri saya seorang Hokjia pedagang besar daun tembakau, rumahnya besar, dibangun dengan kayu-kayu jati yang besar-besar. Untuk masuk rumahnya pun harus melangkahi kayu yang besar. Karena kosong anak-anak dapat berlarian seenaknya tanpa ada halangan, dikebunnya juga tidak ada bunga-bunga yang indah-indah dan terawat seperti rumah orang kaya pada umumnya. Pakaiannya juga pakaian China kuno dengan Riem ( ikat pinggang/sabuk ) yang besar dengan berisi uang dan berlian-berlian yang tinggi nilainya.

Orang Tionghoa umumnya berani dan bisa bekerja keras dan mempunyai talenta untuk berdagang, berani berspekulasi, sehingga bisa sukses dalam perdagangan. Ini karena perkataan Tionghoa Wei Ji, yang berarti krisis terdiri dari dua perkataan, Bahaya (Wei) dan Kemungkinan (Ji). Kalau kita berani mengambil keputusan, berani menghadapi bahaya, baru kita bisa mendapatkan kemungkinan sukses dalam perdagangan. Tentu persoalan ini harus dipikirkan resiko-resikonya dan dipersiapkan agar bahaya menjadi sekecil mungkin. Saya rasa yang sangat menonjol dari keluarga Tionghoa adalah kepeduliannya dalam pendidikan anak-turunannya. Kesuksesan pendidikan dari orang Tionghoa ialah disebabkan karena respek dari kultur Tionghoa pada pendidikan yang diajarkan oleh Guru Besar Tiongkok Kong Fu Zi ( Khong Hu Cu )!

Dapat dikatakan bahwa orang Tionghoa dimana-mana, baik di Asia, Amerika Utara, Uni Eropa dan Afrika merupakan satu etnis yang kecil tetapi mempunyai pengaruh yang besar dalam bidang keilmuan, ekonomi dan kesenian. Pengaruh ini sangat menyolok terutama di Asia Tenggara. Pada jaman Hindia Belanda sampai dengan masa kekuasaan Orde Lama orang Tionghoa memainkan peranan yang penting dalam sosial, budaya dan bahkan politik. Kita lihat banyaknya guru-guru besar dari keturunan Tionghoa di universitas-universitas Indonesia . Ahli-ahli dan dokter pribadi dari presiden Soekarno dan para menteri, umumnya adalah ahli-ahli Tionghoa. Ahli Hukum – Penasehat Hukum dari pemerintah Indonesia dalam banyak persoalan-persoalan diantaranya dalam masalah tembakau di Bremen, Jerman Barat adalah prof. Dr. Gouw Giok Siong, seorang guru besar Hukum Internasional yang terkenal didunia.

Orang Tionghoa disamping adanya provinsialisme Tiongkok juga ada perbedaan antara Peranakan dan Totok, juga antara kedua ini mempunyai perbedaan-perbedaan dan kontradiksi-kontradiksi dalam tubuh masyarakat Tionghoa. Kontradiksi ini tidak berat, apalagi sesudah berdirinya Baperki, banyak institusi-institusi adalah hasil kerja sama yang baik antar orang Tionghoa, baik golongan Totok dan Peranakan, dan dalam badan Totok golongan-golongan provinsi. Kontradiksi ini adalah kontradiksi antar saudara, semua dapat diselesaikan dalam suasana kekeluargaan



Baiklah saya ceritakan disini yang sebenarnya diartikan sebagai Peranakan dan Totok untuk jelasnya. Peranakan adalah suatu perkataan yang tidak jelas, bisa peranakan Tionghoa, Belanda, Arab yang umumnya ada di Indonesia. Tetapi karena jumlahnya Peranakan Tionghoa paling banyak dan media massa banyak menulis tentang persoalan integrasi dan asimilasi, maka kalau kita mengatakan sebutan Peranakan yang dimaksud adalah peranakan Tionghoa, Maka saya pakai sebutan itu dengan arti yang terakhir ini.

Tionghoa Peranakan adalah Orang Tionghoa yang turun temurun sudah tinggal di Indonesia, pendatang ke Nusantara yang terdahulu. Diantara mereka ada banyak yang mempunyai darah Indonesia dari pihak ibu. Karena waktu itu wanita dilarang ikut serta beremigrasi keluar negeri, lagipula oleh kerajaan Tiongkok pada waktu itu melarang penduduknya beremigrasi keluar negeri dan kalau tertangkap hukumannya berat. Sampai di Nanyang mereka “menika”dengan wanita pribumi, dari suku Jawa, Bali atau Sunda dsb. Anak-anak mereka berbicara bahasa ibunya dan putri-putrinya berpakaian sarung kebaya. Orientasinya adalah pada negara dimana mereka tinggal, dalam hal cerita saya ini adalah Negara Indonesia.

Kemudian generasi mudanya tetap menikah dengan sukunya yang dinamakan Hua Yi atau Hua Ren, keturunan Hua Yi ini jarang sekali menikah dengan orang pribumi. Karena itu mereka mempertahankan identitasnya yang telah tercampur dengan identitas negara atau daerah dimana mereka tinggal. Ada pula yang menikah dengan kaum elite ( Bangsawan – Priyayi ) Indonesia , keturunannya memakai nama Indonesia dan menjadi Pribumi. Yang terakhir ini dulu sering bertemu di Prajekan dengan keluarganya yang tergolong Peranakan (daerah Prajekan ingatan saya, kalau salah harap dimaafkan), kebanyakan orang-orang pribumi ini tergolong Priyayi dan Huayinya tergolong kaum intelektual. Contoh yang lain ialah Bapak mantan presiden Abdulrachman Wahid beliau mengatakan bahwa dirinya adalah keturunan Hakka. Saya juga pernah bercakap-cakap dengan seorang guru besar di Surabaya , seorang pribumi, beliau mengatakan pada saya:”pak Han saya baru saja datang dari RRT, yah ini karena saya mau melihat roots ( akar ) saya. Leluhur saya kan orang Tionghoa.” Saya mengangguk-angguk pertanda setuju pada perkataan beliau itu. Pendatang-pendatang yang baru, menikah dengan nyonya-nyonya keturunan Tionghoa yang sudah ada di Indonesia .

Di Indonesia juga di Malaysia dan Singapura, orang-orang ini dipanggil Peranakan atau lebih khusus lagi yang laki dipanggil Baba dan yang wanita dipanggil Nyonya. Saya membicarakan mereka yang tinggal di Indonesia untuk memperkecil ruangan yang kita bicarakan. Mereka ini umumnya tidak pandai lagi bicara bahasa Tionghoa, dirumah mereka dengan keluarganya bicara dalam bahasa lokal atau yang Tempo Doeloe dikatakan Bahasa Melajoe Tionghoa, Yang tergolong elit, dalam arti kaya dan kaum intelektualnya berkomunikasi dirumah dengan keluarganya dalam bahasa Belanda, Hollands Spreken istilah yang dipakai pada Tempo Doeloe.

Mereka sudah mengambil banyak identitas Indonesia, karenanya kebudayaannya sudah campuran . Nyonya doeloe pakai Sarong Kebaya. Tetapi lain motifnya dengan sarung orang pribumi, sarung ini dinamakan Sarong Nyonya dan terutama dibuat di Pekalongan. Karena keaktifan Nyonya dalam masak-memasak maka banyak masakan yang disebut masakan Nyonya, seperti lontong cap go meh, bak-cang, kwee-cang, lumpia, lemper dan kuwe-kuwe yang dibuat dengan tepung Hoenkwe, tepung yang dibuat dari kacang hijau dsb.

Karena sudah beberapa generasi tinggal di Indonesia , dan waktu itu komunikasi yang masih belum semaju sekarang, maka mereka pada umumnya sudah tidak punya lagi keluarga di Tiongkok ( kehilangan akar/root nya ) dan orientasi social-politik dan ekonomi ialah Negara Indonesia, dimana mereka menetap. Dijaman Doeloe mereka sekolah Belanda, karenanya bisa meneruskan pelajarannya ke universitas dan banyak diantara mereka yang tergolong intelek seperti dokter, insinyur, ekonom, pengacara, dan guru sekolah, sedikit yang berdagang kebanyakan dari mereka bekerja sebagai pegawai di perusahaan internasional, bank dan perusahaan orang Tionghoa seperti “Oei Tiong Ham Concern” dan lainnya. Diperusahan Oei Tiong Ham ini terdapat banyak orang-orang Tionghoa intelek lulusan universitas dinegara Belanda.

Tionghoa Totok adalah mereka yang datang ke Indonesia sesudah wanita juga diperbolehkan oleh kerajaan Ching (Manchu) untuk berpergian keluar negeri dan para suami diijinkan untuk membawa istrinya. Dalam keluarga mereka tetap bicara bahasa Tionghoa, dialek asal dimana mereka datang dari Tiongkok. Anak-anak mereka tetap sekolah Tionghoa, karena lulusan sekolah Tionghoa tidak diakui baik oleh pemerintah Belanda maupun pemerintah Indonesia . Maka mereka yang lulus pada jaman Tempo Doeloe dari sekolah menengah tidak bisa meneruskan ke universitas dan untuk mempertahankan penghidupannya banyak dari mereka berdagang. Sesudah berdirinya Res Publica di beberapa kota-kota besar diantaranya Jakarta ( sekarang bernama Universitas Trisakti – Jakarta ), Surabaya dan Semarang, mereka bisa meneruskan studinya di universitas Res Publica. Dalam bidang perdagangan, karena mereka giat bekerja, bisa bekerja sama diantara mereka dari satu provinsi dan sifat-sifat yang menghemat banyak diantaranya sukses dalam bisnisnya.

Jelas mereka mempertahankan kebudayaan Tiongkok dan orientasi mereka terutama pada Tiongkok. Mereka masih mempunyai keluarga dekat di Tiongkok dan yang mempunyai uang sering berkunjung ke Tiongkok untuk mengunjungi keluarga dan teman-temannya. Anak-anak mereka pada jaman sesudah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, karena sekolahan mereka tidak diakui oleh pemerintah, karena guru-gurunya tidak dianggap berkwalifikasi sebagai guru, karena lulusan sekolah menengah mengajar disekolah menengah juga. Banyak generasi mudanya, karena masih berorientasi kuat ke negara leluhur mereka, maka untuk meneruskan pelajarannya mereka Wei-guo (pulang ke negeri leluhur) tidak ke Singapore atau Malaysia atau Taiwan, meskipun mereka harus menanda-tangani perjanjian tidak boleh menetap kembali di Indonesia. Orang Tionghoa Totok ini karena mempunyai sifat provinsialisme yang kuat maka mereka menikah antar sukunya sendiri, yaitu orang Hok Jia menikah dengan orang Hok Jia dan orang Hakka menikah dengan orang Hakka dsb.

Manusia mempunyai dua perbedaan untuk jalan penghidupannya yang satu terutama hidup dengan perasaan dan hatinya dan yang lain hidup berdasarkan pikirannya dan kepalanya. Karenanya rasa kepuasan mereka dalam kehidupannya sangat berlainan. Mereka yang hidup diatas perasaan, penuh dengan kasih sayang bisa ketawa dan bisa juga menangis. Macam manusia yang lain yang hidup terutama berdasarkan pikiran dan kepalanya, yang terakhir ini mereka hidup penuh dengan konflik-konflik dan sensasi, mereka tidak merasa puas dengan keadaannya dan selalu ingin merubah keadaan yang lama. Dari dua dasar faktor hidup yang saya sebut tadi, interesan bagi kita ialah melihat identitas atau norma-norma dan cara mereka menghadapi kejadian-kejadian dalam penghidupan segolongan ras atau suku.

Kalau kita lihat kekhususan ketionghoaan mereka, sangat sukar digeneralisasikan. Orang-orang dari provinsi Fu Jian (Hokkian) lain identitasnya dibandingkan dengan orang-orang dari provinsi Guang-Dong (Kanton). Ini disebabkan besarnya satu provinsi di Tiongkok. Seperti halnya perbedaan identitas dari orang Perancis dan Jerman. Tetapi apakah perbedaan dari orang Tionghoa dengan bangsa lainnya mengenai cara-cara mereka hidup, temperamennya dan kebiasaan hidup atau kekhususannya untuk orang Tionghoa pada umumnya. Dalam keadaan sekarang persoalan ini adalah sangat interesan karena banyak didiskusikan di dunia.


Baiklah saya ceritakan kebersamaan antar orang Tionghoa, adalah disebabkan karena manusia Tionghoa mempunyai hati, mereka hidup dengan hatinya, hidup dengan emosi dan kecintaan serta keperdulian pada sesama manusia. Dan semua sifat-sifat ketionghoan dapat diterangkan karena mereka hidup dengan perasaan. Dan perasaan adalah sesuatu kehalusan dan kestabilan yang sensitif. Lain dengan pikiran yang keras, zakelijk dan sesuatu yang kaku. Katakanlah sifat orang Tionghoa yang pada umumnya dikenal sebagai manusia dengan memori yang kuat. Ini disebabkan karena mereka ingat dengan hatinya tidak dengan kepalanya. Hati dengan kekuatan perasaan simpati dapat ingat lebih lama daripada ingatan dengan otak yang keras, zakelijk dan demi kepentingan diri. Sebagai contoh seorang anak lebih cepat belajar luar kepala atau bisa belajar dan ingat lebih cepat daripada orang yang tua, kepandaian ini diperkuat dengan tulisan Tionghoa yang harus dihafalkan. Contoh lain lagi, orang Tionghoa terkenal dengan sifatya yang beraturan, agak malu menemui orang yang asing baginya. Apakah sebabnya? Ini karena mereka hidup dengan hati dan mengerti perasaannya dan juga tahu perasaan orang lain. Perasaan ini keluar dengan spontan dan bukan bagaikan pemain sandiwara. Karena itu mereka lebih baik diam dari pada bicara, karena takut kalau berbuat kesalahan.

Seorang insinyur Tiongkok lulusan Inggris Ku Hong Min yang hidup pada permulaan abad keduapuluh mengatakan pada diskusi-diskusi di Pei-Bing (Beijing) dengan judul: “Zhong Guo Ren De Jing Shen” perbedaan antara orang Tionghoa dan Barat terletak terutama bahwa orang Tionghoa hidup dengan hatinya ( perasaan ) dan orang Barat hidup terutama dengan kepalanya ( rasio ). Sebagai tambahan dari tulisan Ku Hong Min saya berpendapat bahwa orang Tionghoa mempraktekkan kebudayaan Tionghoa yang sudah turun-temurun dengan “Qing-Li”, dimana Qing berarti kencintaan dan Li berarti rasional”.

Inilah sebabnya mengapa di Eropa jarang sekali mafia Tionghoa yang merampok penduduk Eropa. Mereka dianggap sebagai tuan rumah dan patut mendapatkan kehormatan, karenanya “penjahat” Tionghoa tidak mau merugikan tuan rumah yang telah menerima mereka dengan baik. Orang Tionghoa, terutama yang senior terkenal dengan sifat konservatisme, atau mencegah kedinamikan keadaan, dan mencegah kemajuan. Konservatisme kalau kita lihat dalam sudut pandang yang positif sebetulnya menunjukkan kepuasan pada keadaan sekarang ini. Sifat konservatisme disebabkan karena mereka merasakan susahnya mendapatkan kesenangan dalam kehidupan manusia. Saya anggap ini adalah penerimaan kenikmatan mereka pada sekarang dan disini. Sifat ini jelas sekali disebabkan karena mereka hidup dengan hatinya dan tidak hanya dengan kepalanya. Tetapi meskipun konservatif, orang Tionghoa bisa menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru, dan sifat ini ialah sifat yang dikenal sebagai sifat dari pohon Yang Liu yang bisa dengan luwes mengikuti ritme tiupan angin. Karena itu mereka bisa berdiri dengan luwesnya, tidak kaku dan gampang “patah” di masyarakat manapun.

Ini karena mereka mementingkan kestabilan, menghindari malu dan direndahkan, karenanya mereka giat belajar dan bekerja dengan keras sehingga sukses. Ini semua untuk memenuhi kebutuhan perasaannya. Sifat-sifat yang lain seperti saling membantu antar teman, humanisme, hormat, kejujuran, keadilan dsb. disebabkan karena orang Tionghoa hidup lebih banyak dengan hati daripada dengan kepalanya.



Inilah sebabnya mengapa filosofi Tiongkok adalah filosofi keharmonisan, tanpa kontradiksi yang berat. Para Filosof mengatakan sendiri bahwa filosofinya adalah filosofi Confucianis, Taois, Buddhis dsb. Civilisasi Tiongkok tidak antagonistis, bahkan ketiga ajaran tersebut diatas Confusianisme, Taoisme dan Buddhisme dijadikan satu dengan nama San Jiao atau Sam Kao dalam bahasa Hokkian. Ketiga ajaran ini hidup dalam situasi keharmonisan, tidak ada kontradiksi yang merugikan. Doeloe di Tiongkok para intelektual Taois mempunyai teman yang akrab dengan pendeta Budhhis dan seorang Confucianis. Intelektual-intelektual ini mempunyai keahlian tentang ketiga ajaran ini. Mereka sering berkumpul dan berkongkou-kongkou yang dinamakan Ching-Dan (pembicaraan murni) kalau dalam pembicaraan itu tidak dapat penyelesaian mereka lalu berhenti dan ketawa. Sebagai contoh ada tiga sekawan yang baik, seorang confucianis dengan nama Tao Jian, seorang taois dan seorang buddhis, mereka berjalan-jalan sambil bercakap-cakap dengan senangnya. Tanpa terasa mereka bertiga melalui satu jembatan. Teman budhhis itu pernah bersumpah tidak akan melalui jembatan ini, sewaktu diperingatkan oleh teman confucianis yang bernama Tao Jian, mereka bertiga berhenti sebentar, lalu mereka tetap meneruskan perjalanan sambil ketawa. Cerita ini dilukiskan sebagai tiga orang lelaki dewasa bersamaan ketawa. Cerita ini tidak lain menyatakan bahwa ketiga aliran ide penghidupan/keagamaan ini , hidup dalam suasana saling respek, harmoni dan bebas dan berdiskusi itu untuk mengisi keilmuan masing-masing sebagai pendekatan dan memberi kepuasan baik dalam hati dan pikiran.



Dalam sejarah Hua Yi pada jaman Hindia Belanda dan kemudian pada Jaman Indonesia merdeka terjadilah kerja sama yang erat antara Golongan Peranakan didikan Barat dan Golongan Totok dari berbagai provinsi dan kota . Kita di Indonesia senantiasa mendengar bahwa Penguasa Belanda memberikan privelege, fasilitas, keuntungan bagi orang Tionghoa, tetapi sejarah memperlihatkan keadaan yang tidak demikian. Orang Tionghoa sangat dibatasi kemungkinan dan ruang geraknya, ke-mobil-annya untuk usaha.



Orang Tionghoa seperti diatas telah saya bahas, tetapi baiklah saya ulangi lagi untuk jelasnya. Setiap orang Tionghoa yang berpergian, meninggalkan Pecinan harus meminta ijin dari penguasa Belanda, dimana ditulis pergi kemana, dan jam yang ditentukan harus sudah pulang. Kalau mereka pergi tanpa surat ijin bisa ditahan oleh polisi. Ini sangat menghalangi perdagangan orang Tionghoa. Dengan ijin surat jalan dapat kita analisa bagaimana sukarnya bagi pedagang untuk mempromosikan perdagangannya, mengerjakan marketingnya dan pengurusannya. Contoh kedua dari diskriminasi penguasa Belanda terhadap orang Tionghoa ialah dalam bidang pendidikan. Bagi orang Tionghoa yang kaya atau anak-anak dari opsir-opsir Tionghoa, Mayor, Kapten, Luitenant (pengangkatan orang Tionghoa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengurus masyarakat Tionghoa diberi gelar militer tetapi bukan militer) bisa sekolah disekolah-sekolah Barat swasta. Pemerintah tidak memperdulikan pendidikan orang Tionghoa, padahal bagi anak-anak pribumi diadakan sekolahan khusus pada tahun 1871.





THHK

Pemimpin-pemimpin Tionghoa Peranakan didikan Barat, diantaranya ada seorang yang terkenal kaya raya dan bekerja untuk masyarakat Phoa Keng Hek menunjukkan ketidak puasannya terhadap hukum yang diskriminatif ini. Mereka menjawab ketidak adilan ini dengan mendirikan organisasi massa Tiong Hoa Hwee Kuan pada tahun 1900, terkenal dengan singkatan THHK. THHK adalah ormas Tionghoa yang pertama yang mempersatukan semua golongan orang Tionghoa, Peranakan, Totok, Hokkian, Hakka etc. dengan semangat nasionalisme Tiongkok.

Dalam pengurusan THHK terdapat orang-orang Totok. Tujuan dari THHK ialah pendidikan, merubah kebiasaan-kebiasaan hidup yang merugikan masyarakat Tionghoa dan keluarganya, seperti menghisap candu, pergi ke tempat pelacuran, menghambur-hamburkan uang pada waktu pesta perkawinan, kematian dsb. Mempertinggi etika dan moral masyarakat Tionghoa dengan mempropagandakan ajaran Guru Besar Kong Fu Zi, dan mendirikan sekolahan-sekolahan yang modern untuk memenuhi kebutuhan perdagangan bagi orang Tionghoa.



Pendirian THHK adalah satu reformasi yang besar, satu impak bagi kedinamisan orang-orang Tionghoa dalam bidang sosial, budaya dan perdagangan. Sekolahan-sekolahan itu berbahasa pengantar bahasa Mandarin, mempromosikan budaya Tionghoa dan guru-gurunya adalah orang-orang Totok yang didatangkan dari Tiongkok. Sekolahan ini berkembang dengan cepat dan tersebar diseluruh Nusantara. Tiong Hoa Hwee Kuan dikunjungi oleh seorang penggagas reformasi Tiongkok yang besar yaitu Kang Yu Wei, bahkan tulisan Tionghoa dari Tiong Hoa Hwee Kuan ditulis dengan pensil oleh Kang sendiri. Karena suksesnya dalam bidang pendidikan THHK kemudian menjadi lembaga pendidikan.



Pemerintah kerajaan Qing mengirimkan para pejabat-pejabat pemerintahnya ke Hindia Belanda untuk membantu pendidikan Hua Yi, bahkan mereka memberi beasiswa untuk meneruskan pendidikannya ke universitas “Ji Nan”di daratan Tiongkok. Karena ini orang Tionghoa mau tidak mau berorientasi ke Tiongkok. Tidak seorangpun akan meragukan bahwa Tiong Hoa Hwee Kuan yang pertama-tama didirikan oleh Peranakan Tionghoa berpendidikan Barat hanya bisa sukses kalau mereka bekerja sama dengan golongan totok, baik dalam pengurusan pendidikan maupun dalam bidang finansial.



Kalau kita lihat usaha kegiatan dari Tiong Hoa Hwee Kuan, dapat disimpulkan bahwa Tiong Hoa Hwee Kuan adalah organisasi yang mendongkrak pikiran yang kuno dan tidak cocok dengan keadaan pada jamannya, lalu membangun pikiran-pikiran yang baru, guna kemajuan masyarakat Tionghoa, karenanya sejarah menganggap THHK sebagai ormas yang pertama di Indonesia yang menganjurkan “ Nation dan Character Building”. Tetapi tidak disebut demikian sebelum Perang Dunia II, karena pengertian tentang Nasionalisme , Ilmu Politik dan Tata Negara masih belum sampai tahapan tersebut .

Tetapi pendirian THHK mendapatkan sambutan yang baik dari semua golongan yang ada di Hindia Belanda dan mendirikan ormas-ormas yang serupa dengan THHK. Salah satu pemuka-pemuka Tionghoa Peranakan pendidikan Barat yang merupakan lokomotif dari pendirian THHK adalah ketuanya yang bernama Phoa Keng Hek, beliau menjabat sebagai ketua THHK lebih dari duapuluh tahun.



Phoa Keng Hek sebenarnya akan diangkat oleh Gubernur Jendral Belanda untuk menjadi Kapitan Tionghoa, tetapi beliau menolak jabatan yang tinggi itu, dengan alasan yang halus. Saya kira Phoa mengerti akan konsekuensi jabatan sebagai kapitan Tionghoa, beliau tidak dapat dengan bebas mengabdi pada masyarakat Tionghoa.



Nasionalisme Phoa yang terpengaruh oleh perkembangan nasionalisme di Tiongkok diantaranya, Kang Yu-Wei, Liang Chi-Chao dan Dr. Sun Yat-Sen, yang juga disebut oleh Bung Karno mempunyai pengaruh terhadap pandangan politik beliau.



Berdiri dan berkembangnya THHK dianggap sebagai suatu “Gerakan yang mengkhawatirkan dan mencurigakan ” bagi penguasa Belanda, mereka takut kehilangan kontrol terhadap orang-orang Tionghoa dan dengan merasa terpaksa pemerintah Hindia Belanda membuka pendidikan khusus bagi orang Tionghoa yang terkenal dengan nama Hollandsch-Chineesche School (HCS) pada tahun 1908. Lulus dari HCS dapat meneruskan ke MULO dan lalu ke Algemene Middelbare School (AMS) untuk kemudian bisa meneruskan ke universitas. Dan menurut hukum orang Peranakan dimasukkan dalam onderdaan pemerintah Hindia Belanda. Dengan adanya HCS yang bisa meneruskan sekolahannya ke sekolah teknik menengah dan universitas, anak-anak dari peranakan kebanyakan masuk ke HCS dan anak-anak Totok tetap sekolah di THHK atau sekolahan Tionghoa lainnya yang baru mereka dirikan.



Contoh lain dari hasil yang baik dari kerjasama antar dua golongan Hua Yi ini, dapat dilihat di Rumah sakit-rumah sakit yang didirikan di kota-kota besar oleh para dokter peranakan Tionghoa seperti RS. Tiong Hoa Ie Wan di Semarang dan Surabaya ( yang di Semarang sekarang bernama RS. Telogo Rejo ), RS. Yang Seng Ie ( sekarang RS. Husada ) di Jakarta, RS. Dr. Oen di Solo dsb. bisa berkembang baik karena kerja sama antar dua golongan masyarakat Peranakan dan Totok. Kerja sama ini tampak lebih jelas pada jaman modern sekarang ini.

Seperti di Surabaya kegiatan dari almarhum bapak Yap Eng Kie, seorang totok yang bekerja sosial untuk Tiong Hoa Ie Wan sampai akhir hidupnya. Demikian pula dalam mendirikan sekolah-sekolah rendah, menengah dan universitas di Indonesia melihatkan kerja sama yang unik antara golongan Totok dan Peranakan.



Tidak salah kalau kita gunakan bahasa sepak bola, bahwa masyarakat Hua Yi di Indonesia merupakan sebuah team yang kuat dan indah dengan kekayaan jiwa yang besar. Mereka bermain dengan indah seperti bintang-bintang dilangit dan karena kwalitas yang tinggi mereka mendapatkan historical success.



Di Eropa civilisasi mereka ialah civilisasi perjuangan, katakanlah orang Eropa mempunyai agama, tetapi agama ini memberi kepuasan pada hatinya tetapi tidak pada otaknya. Dan filosofi mereka memberi kepuasan kepalanya tetapi tidak hatinya. Sifat perjuangan ini dapat kita lihat dalam banyak segmen-segmen penghidupan mereka, dari literatur, seni, politik dsb. Juga filosofi mereka tidak menunjukkan kesatuan, ambil seumpamanya Socrates adalah guru dari Plato, tetapi filosofi Plato bukan filosofi dengan nama socratoisme. Demikian pula dengan Aristoteles yang belajar dan hidup selama duapuluh tahun dengan Plato menamakan teorinya dengan namanya sendiri.

Karena adanya kontradiksi-kontradiksi ini maka mereka mendapatkan kemajuan dalam bidang teknologi dan dalam berbagai bidang keilmuan. Kemajuan dalam bidang materi tetapi kurang dalam bidang jasmani, kebalikan dengan Tiongkok, ketenangan, kekayaan dalam jiwa, tetapi kurang dalam materi.



Dengan otak orang bisa merobah keadaan, kehidupan untuk kemajuan dengan penemuan-penemuan teknologi.

Bisa dikatakan bahwa orang Tionghoa hidup sebagai anak kecil yang hidup dengan perasaan, tetapi jujur dan tidak kompleks, sama dimulut sesuai dihati. Dapat saya katakan dengan singkat bahwa Orang Tionghoa adalah seorang dewasa dengan hati anak. Seperti filsuf kenamaan Meng Ke (Mencius) mengatakan, apakah yang kami ini kehilangan? Beliau berkata: “Orang itu pada siang hari mencari apa yang kehilangan, yang dia cari-cari disiang hari ini ialah hati seorang anak! Kejujuran dan spontanitas seorang anak.”



Tetapi para pembaca tentunya akan setuju dengan saya bahwa identitas suatu bangsa ataupun suku akan selalu berubah seiring dengan perubahan waktu. Sifat-sifat dan norma-norma hidup yang kuno dan sudah “tua” akan hilang dan akan datang manusia Tionghoa yang baru yang sudah mengadaptasikan dengan keadaan dimana mereka tinggal atau pernah tinggal dengan jangka waktu yang lama. Yang datang ialah manusia Tionghoa yang modern dan progressif dengan orientasi diri ke jurusan Indonesia dan menerima Indonesia sebagai negaranya.



Saya beranggapan bahwa kontradiksi antar kedua golongan ini dalam badan masyarakat Tionghoa janganlah lagi disebut-sebut, atau disentil-sentil pada faktor-faktor yang sensitif yang bisa menyebabkan perpecahan dalam dua kubu pro dan kontra, seperti yang sudah kita alami. Kita harus mengerti bahwa kesuksesan dari persatuan ini tergantung pada motivasi dari Hua Yi!

Saya pernah berdiskusi dengan teman-teman saya, dimana saya katakan pada mereka bahwa perbedaan yang dulu-dulu adalah satu tahapan yang sudah dilewati! Perbedaan selalu akan timbul dalam perjalanan kehidupan manusia, dan kontradiksi yang timbul harus diselesaikan dalam suasana kekeluargaan dan diusahakan jangan sampai menjadi rumit.

Saya mempunyai pendirian bahwa kwalitas dan hasil harus berjalan bersama, karenanya saya harap mengingat hal praktis dan sosial semua “konflik”dalam tubuh masyarakat Tionghoa secepatnya diselesaikan. Saya berpendapat bahwa satu kemiskinan kejiwaan kalau persatuan ini tidak berjalan dengan langgeng.

Sebetulnya masyarakat Tionghoa adalah satu kesatuan yang pandai dan indah, mengapa tidak? Golongan yang dulu disebut Peranakan mempunyai intelektualitas dan profesionalitas yang tinggi dan golongan Totok mempunyai sifat busines yang kuat dan cara mengelolanya yang simpatik, maka permainan dalam lapangan sosial, budaya, ekonomis dan politik perlu adanya pimpinan yang kharismatis dan pandai untuk menyatukan kedua golongan tersebut demi kepentingan Bangsa dan Negara .



saya berharap dengan hati yang besar, bahwa Perhimpunan Indonesia Tionghoa ( INTI ) dapat mengerjakan tugas yang berat dengan sukses.



Analisa saya tersebut diatas tidak berdasarkan hanya dari satu kejadian yang sukses bahkan sukses yang sangat spektakuler dari THHK, tetapi kesuksesan pada banyak institusi-institusi dan ormas-ormas pada periode yang tidak sama dalam sejarah Indonesia.



Yang perlu saya katakan disini ialah agar kerjasama itu perlu dilanggengkan dan dengan pengertian bahwa karena masing-masing golongan mempunyai kelebihan-kelebihannya sendiri, persatuan mereka telah membuahkan kesuksesan yang besar dalam bidang sosial, budaya, kesehatan dan ekonomi bangsa dan negara Indonesia.

Negara dimana mereka dilahirkan dan merasakan kecintaan dan kesenangan untuk menetap, sebagai home sweet home mereka. Kami lihat bahwa universitas-universitas swasta dan rumah sakit-rumah sakit yang didirikan oleh masyarakat Tionghoa tetap berdiri dan berkembang baik dalam kwantitas maupun dalam kwalitas.



Dengan demikian dalam tubuh masyarakat Tionghoa tidak ada lagi pembagian antara Peranakan dan Totok yang ada ialah peranakanisasi dari orang-orang Tionghoa Totok. Perubahan yang prodresif ini sangat diperlukan tidak saja bagi WNI keturunan juga pada mayoritas, pemerintah dan media cetak pada umumnya. Perubahan yang tidak boleh ditunda bahkan sekarang juga harus ada perubahan yang saya maksudkan diatas.



Pada jaman Orde Baru semua sekolahan Tionghoa ditutup, dan orang Tionghoa "diharuskan" untuk mengganti namanya dengan nama Indonesia, dilarang mempertunjukan kebudayaan Tionghoa keluar, diluar rumah mereka dipaksa harus berbicara bahasa Indonesia. Paman dari istri saya, seorang Totok Hokjia bahasa Indonesianya lancar, juga teman teman saya (golongan seniornya) yang dulu hampir tidak kenal bahasa Indonesia, umumnya mereka bicara dalam bahasa “jawa ngoko” / jawa kasaran, sekarang lancar bicara bahasa Indonesia.

Saya harus mengakui kekalahan saya dalam hal berbahasa Indonesia dari mereka. Generasi mudanya bersekolah di sekolah Indonesia , yang didirikan oleh golongan Peranakan. Dengan demikian mereka kenal sejarah dan kebudayaan Indonesia lebih baik dari ayah dan ibunya.

Tidak berkelebihan kalau saya katakan sesudah saya setiap tahun berkunjung ke Indonesia , terutama sesudah periode Gus Dur, terjadilah proses integrasi yang berjalan lancar. Bahkan dapat dikatakan bahwa situasi orang Tionghoa dalam hal sosial budayanya jauh lebih baik dari sebelumnya.

Dalam pertanyaan saya pada generasi muda totok, banyak dari mereka yang tidak tahu lagi asal provinsi mereka di Tiongkok daratan. Diantara mereka ini sekarang banyak yang sekolah ke universitas dalam dan luar negeri. Banyak diantara mereka sesudah lulus tidak menerjunkan dirinya dalam usaha ayahnya tetapi bekerja di perusahan internasional asing dan bank-bank.

Ada seorang pemuda lulusan USA yang berkata: “saya sekolah fakultas perekonomian, masa saya harus meneruskan perusahaan ayah saya jualan minyak di Semarang. Kan lebih baik sejak dulu saja saya kerjakan dan tidak usah ke USA untuk mendapatkan gelar ekonom. Mungkin saya sekarang sudah punya uang tabungan.”



Banyak generasi mudah lulusan universitas yang tidak mau kembali meneruskan pekerjaan ayahnya apalagi kalau didesa atau kota kecil, mereka lebih baik bekerja di Bank atau perusahan Multi Nasional di Jakarta atau Surabaya dan tidak sedikit jumlahnya yang menetap di Negara-negara Barat dan di Negara-negara maju lainnya. Terjadilah proses yang dinamakan Peranakanisasi dari generasi muda totok.



Bagaimanapun saya percaya pada hari depan Huayi, orang- orang Tionghoa dari segala golongan dan suku bisa tetap bersatu tiada perbedaan antara suku, Peranakan dan Totok, dengan persatuan ini mereka bisa meningkat dalam tangga masyarakat, baik dalam tingkat intelek, ekonomi dan budaya. Seperti keadaan pada jaman Orde Lama, kalian bisa membanggakan kebudayaan dan ekonomi, yang berguna bagi bangsa dan negara Indonesia , Karena kalian masing-masing mempunyai kemampuan.



Reformasi yang dimulai oleh mantan presiden Abdulrachman Wahid dan pemerintahan selanjutnya dapat membantu dalam perkembangan yang saya maksud diatas. Dengan perkataan singkat bisa saya jelaskan disini bahwa kerja sama, saling respek dan toleransi adalah satu kebenaran dimana kita bersama berusaha mengerjakan setiap hari.

Sebagai penutup dari tulisan saya ini, yang dapat dipertanyakan adalah apakah problem dalam masyarakat Tionghoa ini adalah hanya problem bagi orang Tionghoa ataukah problem bagi seluruh bangsa dan negara Indonesia ?





Jelas ini adalah problem buat seluruh bangsa dan negara Indonesia secara bersama. Indonesia pada jaman reformasi ini akan menuju ke negara yang demokratis, stabil dan makmur. Dan ini hanya bisa terlaksana kalau semua rakyat, termasuk suku Tionghoa ikut dengan aktif dan banyak kreatifitas bekerja sama dengan segala suku yang ada di Indonesia . Hanya dengan kreatifitas dan efisiensi, ekonomi bisa berjalan dengan dinamis.

Kemajuan materiil dari ekonomi ada hubungan erat dengan kepandaian manusia, karena itu Indonesia diharapkan berani memakai orang yang pandai tanpa memandang rasnya.



Dr. Han Hwie-Song.

Breda – Nederland.

Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar