Home

Minggu, 28 November 2010

Manusia Bahari di Fort Rotterdam

Kapal Pinisi dari Makassar, Arungi laut seluruh Nusantara ,Bangsa bahari , menjadi besar, Kekuatan laut tiada tara

Begitu bunyi puisi singkat Menbupar Jero Wacik dalam sambutannya yang tertulis dalam buku panduan Pameran Refleksi 100 Tahun Kebangkitan Nasional bertema Manusia Bahari Satukan Negeri. Kegiatan tersebut berlangsung di Makassar, tepatnya di Benteng Fort Rotterdam, pertengahan Oktober lalu. Pameran yang diselenggarakan pertama kali di Makassar ini merupakan kelanjutan dari serangkaian kegiatan dalam rangka memperingati satu abad Kebangkitan Nasional. Diawali dengan pameran "Membangun Budaya Membina Bangsa" di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta pada 20-29 Mei 2008. Kemudian dilanjutkan dengan pameran "Kebangkitan Negeri Bahari" di Museum Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya, Palembang pada 16-23 Juli 2008.

Lantaran sesuatu hal, Menbudpar urung membuka acara tersebut. Gubernur Sulsel Syarul Yasin Limpo pun menggantikannya. Kedatangan Gubernur Sulsel disambut dengan tarian penyambutan "Paduppa" dan "Ganrang Bulo" yang dibawakan 5 penari perempuan dengan diiringi musik tradisional yang dimainkan 4 pria dari Sanggar Ilologading, Kota Makassar. Kemudian dilanjutkan dengan upacara tradisional "Maccera Tasi" dan upacara pembuatan perahu Bugis-Makassar serta atraksi tarian ritual "Bissu".

Dalam sambutannya Syahrul mengatakan pameran ini menjadi bagian dari upaya pelestarian sekaligus memperkuat eksistensi bangsa kita sebagai bangsa bahari. "Kegiatan semacam ini termasuk yang berkaitan dengan tradisi budaya harus dipertahankan," imbuhnya.

Sementara Dirjen Sejarah dan Purbakala Depbudpar, Harry Untoro dalam sambutannya mengatakan bahwa pameran ini untuk mengingatkan kepada masyarakat bahwa bangsa kita punya pengalaman dan sejarah kelautan yang panjang dan dinamis.

Pameran Manusia Bahari di Fort Rotterdam ini selain memamerkan perlengkapan bahari tradisional dan modern juga menyuguhkan aneka kuliner bahari khas Sulsel antara lain Pisang Epe-epe, Palumara dan lainnya.

Juga ada permainan tradisional seperti lomba gangsing, atraksi kesenian Kondobuleng, Orkes Turiolo, dan Batti-batti, parade sepeda onthel, pemutaran film penangkapan Ikan Paus di Lamalera, pelayaran Phinisi Nusantara, dan film Sandeq Race.

Yang membuat pameran ini berbobot adanya ceramah terbuka tentang kebaharian, antara lain ceramah bertajuk "Pelestarian Budaya Bahari untuk Meningkatkan Ketahanan Nasional Indonesia yang dibawakan oleh Drs Iwan Sumantri dan juga ceramah bertajuk "Menjadi Bangsa Bahari" dengan pembicara Drs Bambang Budi Utomo, peneliti dari Pusat Peneliti dan Pengembangan Arkeologi Nasional.

Menurut Bambang, bangsa Indonesia pads hakekatnya adalah bangsa bahari, bukan bangsa agraris. "Tapi belakangan melupakan laut sehingga kita tak mampu memahami perilaku laut," jelasnya.

Untuk mengembalikan citra itu, lanjut Bambang diperlukan pemahaman tentang bangsa bahari kepada seluruh lapisan masyarakat, salah satunya dengan pameran seperti ini. "Pameran ini selain mengenalkan kepada bangsa kita, khususnya generasi muda tentang bangsa bahari, sekaligus memberi pemahaman untuk melestarikan kehidupan di laut, mengingat bangsa ini banyak yang hidupnya bergantung dengan laut," jelasnya.

Yang pasti, keberadaan pameran Manusia Bahari Satukan Negeri di Fort Rotterdam ini kian 'menghidupkan' benteng tua ini. Kendati udara panas menyengat menyelimuti Kota Makassar selama pameran berlangsung, tak melunturkan semangat masyarakat termasuk para pelajar dan turis asing untuk menikmatinya.

Sekilas Fort Rotterdam

Fort Rotterdam adalah benteng peninggalan zaman kolonial Belanda di pinggir pantai sebelah Barat Kota Makkasar, Sulawesi Selatan. Benteng yang dibangun pada 1545 oleh Raja Gowa - bernama Imanrigau Daeng Bonto Karaeng ini berbahan dasar tanah liat. Bentuknya persegi dengan gaya arsitektur Portugis. Modelnya sama dengan benteng di Eropa abad ke-16 dan 17.

Benteng yang letaknya di tepi laut ini direbut dan dibangun kembali pada 1667 oleh Belanda dengan nama Fort Rotterdam. Dinding luar yang tebalnya 2 meter dan tinggi 7 meter membentuk kotak besar seperti seekor penyu. Di setiap sudut dan pintu utama dibuat benteng pertahanan yang menonjol ke luar dalam bentuk berlian, membuat benteng sulit ditundukkan.

Oleh karena itu Belanda mampu bertahan di sana selama ratusan tahun. Pada masa itulah, benteng ini menjadi salah satu pusat pemerintahan dan pusat perdagangan VOC di kawasan Indonesia bagian Timur.

Hingga kini, Fort Rotterdam masih berdiri kokoh menjaga Laut Makassar sekaligus mempertontonkan contoh besar dari hasil renovasi arsitektur kolonial Belanda. Di dalamnya terdapat Museum La Galigo, museum hidup untuk Sulawesi Selatan. Benteng ini kini menjadi pusat kebudayaan dan salah satu landmark wisata Kota Makassar.

Bila berwisata sejarah, selain Fort Rotterdam, masih ada beberapa bangunan peninggalan Belanda yang dapat kita lihat, walaupun beberapa bangunan tua yang indah di antaranya telah dihancurkan demi arsitektur modern.

Rumah-rumah peninggalan Belanda bisa kita temukan di jalan-jalan sempit di pusat kota sekitar Fort Rotterdam. Selain itu banyak bangunan Cina termasuk empat kelenteng Budha berwarna cerah. Di kota ini juga terdapat makam peninggalan pahlawan dari tanah Jawa, anak dari Sultan Jogjakarta, yakni Pangeran Diponegoro yang memimpin perlawanan terhadap Belanda dalam perang Jawa 1825-1830. Beliau ditipu Belanda lalu dibuang ke Makassar hingga akhir hayatnya.

Sumber: Majalah Travel Club

Peta Lokasi :
Map data ©2010 Tele Atlas - Terms of Use
Map
Satellite
Hybrid



Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar