Home

Minggu, 28 November 2010

Vihara Avalokitesvara


Dalam catatan sejarah, keberadaan Vihara Avalokitesvara ini tidak bisa dilepaskan dari sosok Syarif Hidayatullah (1450-1568 M), atau yang lebih populer dengan nama Sunan Gunung Djati, salah seorang wali dari Walisongo yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Beliau terpantik mendirikan sebuah vihara di Serang karena melihat banyaknya perantau dari Tiongkok beragama Buddha yang membutuhkan tempat ibadah.

Menurut versi lain, ide mendirikan vihara muncul setelah beliau menikah dengan salah seorang putri Tiongkok. Karena banyak di antara pengikut putri tersebut yang masuk Islam, Sunan Gunung Djati kemudian membangun sebuah masjid bernama Masjid Pecinan, yang kini tinggal puingnya saja. Sedangkan bagi mereka yang tetap bertahan dengan keyakinannya semula, dibuatkan sebuah vihara. 

Vihara yang termasuk dalam Kawasan Situs Banten Lama dan konon dibangun sekitar tahun 1652 M ini diberi nama Vihara Avalokitesvara. Nama vihara tersebut diambil dari nama salah seorang penganut Buddha, yaitu Bodhisattva Avalokitesvara, yang artinya “mendengar suara dunia.” 
Mengunjungi Vihara Avalokitesvara tergolong istimewa. Karena dengan mengunjungi vihara ini berarti seseorang telah mengunjungi sebuah situs sejarah dan sekaligus tempat ibadah. Sebagai situs sejarah, vihara ini termasuk salah satu vihara tertua di Indonesia. Vihara ini juga menjadi bukti kegemilangan peradaban Kesultanan Banten pada masa lalu. Sebagai tempat ibadah, vihara ini merupakan salah satu tempat ibadah favorit bagi umat Buddha dari dalam dan luar negeri. 

Namun, vihara ini lebih dari sekadar situs sejarah dan tempat ibadah. Karena sesungguhnya, keberadaan vihara ini adalah simbol yang mencerminkan karakter masyarakat Banten yang mencintai kerukunan dan keharmonisan dengan berbagai suku, bangsa, dan agama pada masa lalu. Meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, namun masyarakat Banten senantiasa terbuka dengan berbagai agama yang masuk ke kawasan tersebut.

Sementara itu, keberadaan vihara di pusat Kota Banten Lama dan letaknya yang tidak terlalu jauh dari Masjid Agung Banten (masjid kesultanan), menjadi bukti lain dari fenomena kerukunan antarumat beragama di Banten pada masa lalu. Hinga kini, tradisi kerukunan antarumat beragama tersebut masih terjalin dengan baik.
Kompleks vihara yang luas dan suasana di sekitarnya yang tenang, serta lokasinya yang dekat dengan laut, menjadikan vihara ini begitu istimewa untuk dikunjungi. Angin laut yang berhembus pelan dan pesona daun nyiur yang melambai-lambai dengan latar Selat Sunda nan biru, menambah daya tarik kawasan ini. Sehingga, tidak mengherankan jika banyak orang yang datang ke sini, baik pemeluk agama Buddha yang ingin memanjatkan doa dengan khusyuk maupun turis yang ingin bertamasya atau sekadar mencari inspirasi. Biasanya, vihara ini ramai dikunjungi oleh turis dari dalam dan luar negeri pada saat perayaan Tahun Baru Imlek dan peringatan Lakwe Cakau, hari kesempurnaan Dewi Kwan Im sebagai Ibu Suri Buddha.

Di dalam vihara, pengunjung dapat menjumpai beraneka koleksi arsip, foto, lukisan, dan patung Dewi Kwan Im peninggalan Kekaisaran Tiongkok pada masa Dinasti Ming. Di samping itu, pengunjung juga dapat mengetahui reportase dahsyatnya gempa dan tsunami yang melanda kawasan sekitar Selat Sunda akibat letusan Gunung Krakatau pada tanggal 27 Agustus 1883. Reportase kronologi peristiwa tersebut dikisahkan dalam tiga bahasa, dan pengunjung dapat membacanya pada sebuah papan yang menempel di salah satu dinding vihara. Meski lokasi vihara dekat dengan laut, ajaibnya, vihara ini tidak “terpengaruh” oleh gempa tektonik dan tsunami dahsyat yang menewaskan ribuan korban yang sempat menggemparkan dunia itu. 

Setelah puas mengunjungi vihara ini, pelancong dapat mencoba suasana lain yang masih termasuk dalam Kawasan Wisata Situs Banten Lama, seperti Masjid Agung Banten, Benteng Speelwijk, bekas Keraton Surosowon dan Keraton Kaibon, serta bekas Pelabuhan Kramatwatu, sebuah pelabuhan yang sangat terkenal pada masa kegemilangan Kesultanan Banten. Obyek-obyek wisata ini lokasinya berdekatan dengan Vihara Avalokitesvara. 

Secara administratif, Vihara Avalokitesvara masuk dalam wilayah Kampung Pamarican/Kampung Kasunyatan, Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kabupaten Serang, Provinsi Banten, Indonesia.

Dari Jakarta, Provinsi Banten berjarak sekitar 70 kilometer. Selain dengan kendaraan pribadi, pengunjung dapat menuju provinsi termuda di Pulau Jawa tersebut dengan bus, taksi, atau kereta api. Sedangkan Vihara Avalokitesvara berjarak sekitar 10 kilometer di sebelah utara Kota Serang, ibukota Provinsi Banten. Pengunjung dapat mengaksesnya dengan naik taksi atau angkutan kota jurusan Serang-Kramatwatu. Pengunjung tidak dipungut biaya.
Wisatawan tidak perlu cemas kelaparan bila berada di Vihara Avalokitesvara, karena di sekitar kawasan tersebut terdapat rumah makan, warung, dan pedagang asongan yang menyediakan berbagai kebutuhan wisatawan. Di depan vihara juga terdapat penjual aneka makanan laut yang telah dikeringkan sebagai oleh-oleh, mulai dari cumi, lontar telur, telur ikan, ikan japu, sampai terasi udang. 

Di sekitar kawasan ini terdapat home stay, wisma, dan hotel dengan berbagai tipe, sehingga wisatawan tidak perlu khawatir bila mengunjungi vihara ini pada malam hari. Bahkan, di dalam kompleks vihara disediakan tempat penginapan bagi wisatawan yang ingin bermalam di sana.

Berbagai fasilitas lainnya, seperti jaminan keamanan, pelayanan panduan wisata, kios wartel, serta area parkir yang luas dan aman, juga tersedia di sini.


Penulis : Yusriandi Pagarah
Sumber: wisatamelayu.com
Foto : mahavishnu8aroengbinangflickrCBN

Peta Lokasi :
Map data ©2010 Tele Atlas - Terms of Use
Map
Satellite
Hybrid



Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar